Minggu, 07 Mei 2017

sejarah islam di DKI JAKARTA

Masuknya Islam Ke Jakarta

Mayoritas orang Betawi menganut agama Islam, dan sebagian kecil dari mereka menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Bagi orang Betawi pada umumnya, agama Islam adalah agama utama yang dijadikan pedoman dalam kehidupan mereka.
Islam diperkirakan berkembang di kawasan Jakarta sekitar awal abad ke-15, saat wilayah ini masih bernama Sunda Kelapa yang  berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, penyebar agama Islam pertama di wilayah Sunda Kelapa adalah Syekh Hasanuddin (Syekh Quro) yang datang dari Champa (Kamboja). Ulama ini menikah dengan penduduk setempat dan mendirikan pondok pesantren Quro pada 1428 di Tanjungpura, Karawang. Selanjutnya, penyebarannya dilakukan oleh para bangsawan (menak) Pajajaran yang telah memeluk Islam, serta para pendatang baik dari wilayah nusantara lainnya maupun para pedagang muslim asal Cina, Gujarat, atau Arab.
Ridwan Saidi, mengatakan awalnya ulama asal Champa tersebut bermaksud datang ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh Quro urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis Karawang, dan membangun pesantren di Quro.
Di kemudian hari, seorang santri pesantren Quro, yakni Nyai Subang Larang dipersunting Prabu Siliwangi. Hasil dari perkawinan ini lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya. 
Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini dulunya adalah langgar. 

Titik tolak
Dari catatan sejarah ini kemudian diketahui bahwa titik tolak penyebaran Islam di Jakarta (Batavia) terjadi antara 1418-1527. Sejumlah tokoh penyebarnya antara lain Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke. 
Seperti sejarah tentang perkembangan agama pada umumnya, awal mula penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Kerajaan Pajajaran dan para resi. Naskah kuno Carios Parahiyangan menyebutkan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan.
Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buhun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521 dengan dibantu para resi. Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itu, penyebar Islam umumnya memiliki ilmu yang dinamakan elmu penemu jampe pemake.
Sementara para dato umumnya menganut tarekat sehingga banyak resi seperti resi Balung Tunggal yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur), yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat pada 1579, dan dimakamkan di Ratu Jaya, Depok.
Sementara itu, penyebaran Islam di pesisir Jakarta diketahui telah dimulai sejak abad ke -15, tepatnya pada 1527. Bukti penyebaran Islam di pesisir Jakarta itu ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Alam yang hingga kini masih berdiri kokoh di Cilincing, Jakarta Utara.
Masjid ini dibangun oleh Fatahillah dan pasukannya untuk menyerang Portugis tahun 1527. Diyakini masyarakat setempat, Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari. Hingga kini masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi, selalu diziarahi, lebih-lebih pada malam Jumat Kliwon.
Sekitar seratus tahun kemudian, 1628 hingga 1629, ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung Museum Sejarah Jakarta), para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Masjid Al-Alam, guna mengatur siasat perjuangan.

Pedagang Gujarat
Pada perkembangan selanjutnya, penyebaran Islam dilakukan oleh para padagang Gujarat, yang membangun Masjid Al-Anshor pada 1619 Masehi. Namun beberapa waktu kemudian, sekitar Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk masjid tersebut. Akhirnya tanah bekas masjid itu digunakan untuk membangun sebuah perwakilan dagang Inggris.
Pada 1619, penyebaran Islam dimulai di daerah Jatinegara Kaum. Hal ini ditandai dengan Masjid As-Salafiah yang terletak di Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur.  Masjid ini didirikan oleh Pangeran Ahmed Jaketra, setelah hijrah dari daerah Jayakarta di tahun 1619, akibat gempuran VOC. Dari Masjid As-Salafiah inilah pangeran Ahmed yang kemudian berganti nama menjadi Pangeran Jayakarta dan pengikutnya mengobarkan semangat jihad untuk terus-menerus mengusik Belanda.
Sampai 1670, Batavia tidak pernah aman dari gangguan keamanan akibat aksi gerilya Pangeran Jayakarta  dan para pengikutnya. Dalam perkembangan selanjutnya, penyebaran Islam di Jakarta berlanjut dengan kedatangan  Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat yang mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa, tahun 1736 Masehi.
Inilah kiranya salah satu titik tolak sejarah penyebaran Islam di sepanjang daerah Jakarta Utara, termasuk di daerah Tanjungpriok. 
Pesisir Jakarta Utara diceritakan sebagai tempat persinggahan terakhir Habib Husein dalam mensyiarkan Islam. Beliau mendirikan surau di daerah Luar Batang, dekat Pelabuhan Sunda Kelapa, sebagai pusat penyebaran Islam.
Habib Husein banyak dikunjungi orang bukan saja dari daerah sekitarnya, tetapi juga datang dari berbagai daerah Jawa Barat untuk belajar Islam. Habib Husein wafat di Luar Batang tanggal 24 Juni 1756 M, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1169 Hijriyah.
Ada hal yang menarik saat wafatnya Habib Husein. Ketika itu, VOC melarang Habib Husein dimakamkan di Luar Batang karena orang asing harus dikubur di Tanahabang. Namun, tiga kali bolak-balik masyarakat mengusung kurung batang berisi jenazah Habib Husen, setiap kali tiba di kuburan Tanah Abang kurung batang itu selalu kosong. Jenazah Habib Husein ternyata tetap berada di tempat semula, di Kampung Luar Batang. Akhirnya masyarakat Luar Batang memutuskan untuk menguburkan Habib Husein di tempatnya berdakwah, yakni di Masjid Luar Batang.
Penyebaran Islam di Batavia mulai dilakukan oleh kalangan intelektual Islam yang bersinar di masyarakat Betawi, sekitar abad ke-19 dengan tokoh-tokoh seperti Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.
Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Selain itu juga lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di Betawi juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.
Intelektual Islam Betawi pun membentuk sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah, ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawa kitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili. Juga sentra Tanah Abang yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900.
Diceritakan, pada awalnya Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.
Dari berbagai literatur sejarah mengenai perkembangan Islam serta tokoh-tokoh ulama yang menyebarkannya di tanah Betawi diketahui bahwa nama Habib Hasan Alhadad tidak satu kali pun disebut. Itu berarti cerita yang menyebutkan Habib Hasan Alhadad sebagai tokoh penyebar Islam di Jakarta tidak benar, karena beliau wafat dalam perjalanan di tengah laut menuju Batavia.
Sayangnya, informasi ini tidak seutuhnya diketahui masyarakat. Bahkan, kalangan ulama sekalipun banyak yang terkecoh dengan informasi yang menganggap Habib Hasan Alhadad sebagai penyebar Islam di Jakarta.
Dalam sebuah surat pernyataan yang ditandatanganinya, Pengasuh Pondok Pesantren Asshidiqiyah KH Nur Iskandar SQ menyebutkan bahwa Habib Hasan Alhadad sebagai tokoh penyebar Agama Islam di Pulau Jawa dan Sumatera yang kemudian dimakamkan di wilayah Tanjungpriok. Surat pernyataan bernomor 035/A-2/ASHD/VII/1997 itu sepertinya dibuat memang atas permintaan pengelola makam pada waktu itu.
Meski tidak didukung literatur yang memadai, dalam pernyataan yang tampaknya dibuat dengan isi seragam, sejumlah ulama pun membuat surat pernyataan yang berangkat dari informasi sepihak. Meski demikian, sejumlah ulama yang membuat surat pernyataan tersebut sesungguhnya memiliki maksud baik menghargai ketokohan ulama penyebar agama Islam.
Sesuai data yang ada, sejumlah ulama tersebut antara lain KH Sochibul Anwar (Pondok Pesantren Nurul Anwar Jaddih Timur, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan Madura), Habib Abdullah bin Hud Al-Habsyi (Jln TB Badaruddin No 33 Kp Jati Jatinegara Kaum, Jakarta Timur),  KHS Abdullah Schal (Pondok Pesantren Syaichona Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, Madura), Habib Hamid Naqib bin Muhammad Bin Syech Abi Bakar (Yayasan Pondok Pesantren Al-Khairat, Pengasinan, Bekasi Timur).
Selain itu, Agil Alhabsyi (Tegalan, Jakarta Timur), Habib Ahmad Fahmy bin Abu Bakar Al-Idrus (Jl Rulita No 26 Kel Harjasari, Ciawi, Bogor), Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus (Makam Keramat Luar Batang Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara), KH Abdul Mujib (Koddasa - Korps Dai Darussaadah Rawamangun Utara, Rawasari, Jakarta Pusat), KH Muh. As’ad Umar (Yayasan Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur), H Abdul Rahman M Alhabsyi (Islamic Center Indonesia, Masjid Auwabin Kwitang, Jakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar